Laman

Sabtu, 25 September 2010

Penghargaan

Penghargaan merupakan kata yang sangat umum dan sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, penghargaan berarti perbuatan menghargai, penghormatan, atau perhatian. Namun, mengapa hanya ada di kamus saja? Mengapa tidak diangkat menjadi suatu hal yang riil dan ada di kehidupan seni dan desain Indonesia??

Pemikiran ini sudah menggelitik saya semenjak pertama kali memutuskan untuk menuntut ilmu di Institut Kesenian Jakarta. Lantas dulu saya bagaimana?? Pertanyaan yang saya biarkan tebal di atas itu dulunya tidak pernah terpikir oleh saya. Saya masih berputar-putar di dalam angan-angan saya sendiri dengan referensi film, program tv, dan bacaan dari mancanegara yang selalu mengagung-agungkan seni dan desain. Bukan berarti saya mengira seniman di luar negeri menjadi orang yang dipuja-puja. Hanya saja, di luar negeri sepertinya menjadi seniman itu keren, ha-ha-ha!

Lalu kembali ke saat saya memutuskan untuk berkuliah di IKJ. Langsung mencuat pertanyaan-pertanyaan dari sanak saudara, berseliweran dari mulut ke mulut, hingga sampai ke telinga saya. “Yakin Mbak, anaknya mau disekolahkan di IKJ?”, “Sudah mantap benar di situ? Tidak mau pikir-pikir lagi?”, “Mengapa tidak coba masuk UI dulu? Ambil Sastra Inggris bagus, loh!”, “Yakin tidak bisa berhasil kuliah di IKJ? Kalau mau ambil DKV mengapa tidak ambil kursus saja? Toh sama saja,” dan banyak lagi hingga saya tidak bisa mengingat semuanya. Saya hanya tersenyum sambil pura-pura tidak peduli dengan apa yang mereka katakan.

Semua orang berpikiran serupa; menjadi seniman dan bersekolah di sekolah seni merupakan pilihan yang mengkhawatirkan dan perlu dikaji ulang kembali sebelum benar-benar diputuskan. Mengapa? Tentu saja ini berhubungan dengan paradigma umum tentang seniman yang gembel, tidak laku lukisannya, tidak mandi berhari-hari, makan susah, pekerjaan tidak tetap, tidak ada gaji bulanan, dan lain sebagainya. Benarkah demikian?? Menurut saya, sebenarnya paradigma umum inilah yang membuat seniman dan desainer benar-benar menjadi gembel! Maklum, ketika orang-orang Indonesia bersekolah di bangku SD hingga SMA, tidak ada penekanan yang jelas di bidang seni. Semua di pompa untuk menjadi orang-orang eksak, ahli di bidang IPA dan IPS, dan ruang gerak seni di sekolah-sekolah masih sempit dan hanya terbatas di ruang lingkup ekstrakurikuler, klub, festival setahun sekali, atau satu mata pelajaran saja.

Paradigma umum ini membuat masyarakat jadi tidak menghargai keberadaan seniman dan desainer. Anak-anak muda yang mudah dipengaruhi paradigma ini pun bisa dengan mudah membenamkan mimpinya menjadi seniman atau desainer dan memilih untuk kuliah di bidang lain, takut masa depannya terancam gagal dan tak berhasil. Paradigma ini membuat orang jadi tidak memberi penghargaan pada seniman dan desainer. Penghargaan di sini bukan berarti award atau piagam. Penghargaan yang saya maksud adalah penghargaan dari individu dan bersifat personal.

Selain itu, masyarakat Indonesia terlalu menggampangkan seniman dan desainer. Tidak perlu sekolah, asal bisa menggambar yang bagus, ikut sanggar sebentar, beli alat-alat lukis, buat lukisan, jadilah seniman. Atau, asal bermodal bakat, kursus photoshop, beli buku-buku tutorial, beli PC atau iMac yang paling canggih, buka jasa desain di mana-mana, jadilah desainer. Menjadi desainer dan seniman tidak semudah itu! Seniman dan desainer tetap harus bersekolah, mempelajari teori-teori, tidak hanya bermodal teknis dan alat kerja. Jika tidak, di mana letak mutu seorang seniman dan desainer? Tidak ada sama sekali. Nol. Bermodal teknis dan fasilitas semata hanya menjadi tukang saja.

Nah, “seniman” dan “desainer” yang hanya bermodal teknis dan fasilitas ini lantas merusak harga seniman dan desainer yang mati-matian berjuang di sekolah seni dan mendapat gelar Sarjana Seni atau S.Sn. Mengapa? Orang-orang yang bermodal teknis dan fasilitas semata akan mematok harga lebih rendah, sementara seniman dan desainer yang bermodalkan akademik akan mematok harga lebih mahal sebab ide dan konsep mahal nilainya, apalagi setelah melewati tahapan belajar di institusi. Orang Indonesia tidak banyak yang mengerti tentang seni. Masyarakat lebih senang membayar jasa desainer atau seniman dengan harga murah. Ya ya ya, finansial. Makin murah makin bagus, tidak lagi melihat kualitas. Akhirnya “seniman” dan “desainer” yang bermodal teknis dan fasilitas yang memegang pasar dan bisa menarik minat banyak orang. Sungguh menyedihkan.

Bagaimana caranya agar fenomena kurangnya penghargaan terhadap seniman dan desainer ini berhenti? Sebenarnya hanya tinggal mengubah paradigma umum dan menambah ruang gerak kesenian di sekolah-sekolah dapat membantu perbaikan keadaan. Namun, tidak hanya itu. Para seniman dan desainer mesti bersatu dan bergerak, unjuk gigi, dan membuktikan kepada masyarakat Indonesia bahwa sarjana seni juga bisa sama hebatnya seperti sarjana kedokteran, hukum, dan teknik.

HIDUP SENIMAN dan DESAINER INDONESIA!!